BNews—JOGJAKARTA— Pada zaman penjajahan Jepang, banyak perempuan pribumi di Indonesia yang dijadikan ’budak cinta’ oleh tentara Jepang. Mereka dikenal dengan nama Jugun Ianfu.
Walaupun sudah lama berlalu, para perempuan mantan Jugun Ianfu yang masih hidup masih belum lepas sepenuhnya dari bayang-bayang masa lalu. Salah satu pelaku sejarah berdarah Jogja adalah Mardiyem.
Mardiyem merupakan wanita asal Jogja. Ia pernah diundang ke Negeri Sakura oleh Violence Against Women in War-Net Work Jepang untuk menghadiri Pengadilan Rakyat Perempuan Internasional (Tribunal Tokyo).
Dalam pengadilan itu, mereka menuntut pemerintah Jepang yang melakukan sistem perbudakan cinta selama Perang Dunia II. Tak hanya Indonesia, saat itu sistem perbudakan Jugun Ianfu juga diterapkan di negara-negara lain seperti Tiongkok, Taiwan, Korea Utara, Korea Selatan, Malaysia dan Filipina.
Sebagai seorang mantan Jugun Ianfu, Mardiyem mengungkapkan kisah hidupnya. Bagaimana ia membagikan betapa pilunya menjadi budak cinta hingga melawan stigma buruk masyarakat terhadapnya.
Mardiyem bercerita, saat itu ia masih berusia 13 tahun kala menjadi Jugun Ianfu. Waktu itu, ia diberi panggilan Momoye. Awalnya, ia dijanjikan bakal diberangkatkan ke Borneo menjadi penyanyi kelompok sandiwara keliling Pantja Soerya.
Namun sebelum berangkat, semua tubuhnya diperiksa, termasuk kemaluannya. Namun saat menetap di Asrama Telawang sebelum menuju Borneo, ia dirudapaksa oleh seorang pembantu dokter yang memeriksa kesehatannya.
”Sejak di Telawang, nama Mardiyem telah hilang. Di sana Saya diberi nama Momoye. Hari pertama di sana, Saya dipaksa melayani enam laki-laki padahal waktu itu Saya sudah mengalami pendarahan hebat,” ungkap Mardiyem.
DOWNLOAD APLIKASI BOROBUDUR NEWS (KLIK DI SINI)
Selama menjadi seorang Jugun Ianfu, Mardiyem tinggal di sebuah rumah bordir di Banjarmasin milik Chikada. Pemiliknya itu sikapnya sangat kasar pada Mardiyem. Pernah suatu hari ia dipukul dan ditendang sampai pingsan selama enam jam karena menolak melayani tamu.
Karena pekerjaannya itu, Mardiyem mengaku pernah hamil dan terpaksa menggugurkan kandungannya karena disuruh Chikada. Mardiyem mengaku sebenarnya laki-laki yang menghamilinya itu siap bertanggung jawab atas anak itu, tetapi Chikada tidak mengizinkan.
Mardiyem merasa sangat berdosa karena membiarkan bayi itu meninggal. Sebelum menguburkannya, ia memberi nama bayi itu Mardiyama, dengan nama ’Yama’ yang diambil dari nama ayah sang bayi.
Setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1953, Mardiyem kembali pulang ke kampung halamannya di Jogjakarta. Ia kemudian menikah dengan seorang mantan prajurit KNIL yang juga mantan tahanan Jepang. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai seorang anak.
Namun baru pada tahun 1993 Mardiyem mendaftarkan diri di LBH Jogja sebagai mantan Jugun Ianfu. Hingga saat itu, putra dan keluarganya bahkan tidak tahu bahwa ia dulunya seorang Jugun Ianfu.
Banyak pihak yang mau mengerti tentang masa lalunya. Tapi ada pula tetangga dan anggota keluarga yang menganggapnya sudah melakukan sesuatu yang memalukan.
Selain itu, walaupun sudah diundang dua kali ke Jepang oleh LSM, namun Mardiyem belum dapat kompensasi. Bahkan Mardiyem mengatakan ada tetangganya yang berbisik, ”Sudah berkali-kali ke Jepang kok belum dapat uang?”.
Karena desakan berbagai pihak, Pemerintah Jepang akhirnya bersedia membayar ganti rugi terhadap para Jugun Ianfu. Namun kompensasi sebesar 380 juta yen itu justru mengucur ke Asian Women Funds (AWF).
Tapi, dana pada AWF itu tidak jelas penggunaannya. Di awal dikatakan dananya akan digunakan untuk mendirikan panti jompo di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sumatera Utara. Namun praktiknya para mantan Jugun Ianfu tidak pernah menerimanya.
Mengenai dana itu, Mardiyem mengaku menolak menerima. Kecuali Pemerintah Jepang mengaku bersalah dan meminta maaf kepada korban, merehabilitasi nama mereka. Serta memasukkan nama Jugun Ianfu sebagai pelajaran sekolah di Jepang. (ifa/han)
Sumber: Liputan 6