Sutami, Menteri Termiskin dengan Warisan Megaproyek Tanpa Pamrih

BNews-NASIONAL- Di tengah banyaknya pejabat Indonesia yang hidup mewah dan bergelimang harta, nama Sutami justru dikenang sebagai simbol keteladanan.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang menjabat dari tahun 1964 hingga 1978 ini dikenal karena integritas dan gaya hidupnya yang sangat sederhana.

Ia pernah menjadi pembantu dua presiden, Soekarno dan Soeharto, tanpa pernah tergoda mengeruk keuntungan pribadi dari jabatannya.

Selama 14 tahun menjabat sebagai menteri atau melewati delapan periode kabinet, Sutami konsisten menolak berbagai fasilitas dan pemberian negara.

Alasannya sederhana namun bermakna: karena masih banyak rakyat hidup dalam kesengsaraan, maka tak pantas bagi seorang pejabat untuk menunjukkan kemewahan.

Dalam kesaksian Staf Ahli Sutami, Hendropranoto, yang dituangkan dalam tulisan berjudul “Sutami Sosok Manusia Pembangunan Indonesia” (1991), diceritakan bahwa Sutami terbiasa berjalan kaki berkilo-kilo saat meninjau proyek di pelosok.

Ia melakukannya agar tidak merepotkan orang lain serta demi efisiensi dan kejelasan saat meninjau proyek. Melalui kebiasaan ini, Sutami bisa memahami secara langsung kualitas pelaksanaan pembangunan dan menyelesaikan permasalahan yang muncul di lapangan.

CEK BERITA UPDATE LAINNYA DISINI (KLIK)

“Sutami memilih pembangunan infrastruktur yang menyentuh pedesaan dan pelosok karena menurutnya itu lebih bermanfaat bagi rakyat kecil, dibanding hanya berfokus pada kepentingan industri dan pengusaha,” jelas Hendropranoto.

Gaya hidup merakyat dan rendah hati juga tercermin dari keseharian Sutami. Dalam laporan majalah Tempo edisi 22 November 1980, Sutami disebut sebagai sosok intelektual yang sederhana dan tak pernah memamerkan statusnya.

Pria kelahiran 19 Oktober 1928 ini bahkan tak memiliki rumah pribadi selama menjabat sebagai menteri. Rumah barunya baru dimiliki setelah pensiun pada 29 Maret 1978, dan itupun dibeli melalui cicilan bulanan.

Atas gaya hidup yang sangat bersahaja itu, masyarakat pun menjulukinya sebagai “Menteri Termiskin”. Namun, julukan tersebut tak pernah dipermasalahkan oleh Sutami. Ia justru tetap hidup dengan prinsip dan idealismenya.

Setelah pensiun, kehidupan Sutami jauh dari kemewahan. Rumahnya yang masih dicicil pernah mengalami pemutusan listrik karena ia tak mampu membayar tagihan. Bahkan saat jatuh sakit, Sutami sempat menolak pergi ke rumah sakit karena takut tidak sanggup membayar biaya pengobatan.

Diketahui, Sutami mengidap penyakit liver kronis yang dipicu oleh kurangnya asupan makanan bergizi dan kelelahan akibat kebiasaannya berjalan kaki meninjau proyek. Kabar ini kemudian sampai ke telinga Presiden Soeharto, yang langsung memerintahkan agar Sutami bisa berobat tanpa dipungut biaya.

Namun, perjuangan Sutami melawan penyakitnya berakhir pada 13 November 1980, saat ia meninggal dunia.

Meski telah tiada, warisan pembangunan Sutami tetap dirasakan hingga kini. Sejumlah megaproyek nasional seperti Tol Jagorawi, Jembatan Semanggi, hingga Jembatan Ampera adalah bagian dari kontribusinya dalam membangun negeri ini—dilakukan tanpa pamrih dan jauh dari sorotan sensasi. (*/tempo)

About The Author

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses