Musim Kemarau Tapi Hujan Masih Turun? Ini Penjelasan Lapan
BNews—NASIONAL— Indonesia semestinya memasuki musim kemarau, namun hujan masih mengguyur sejumlah daerah. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) pun memberikan penjelasannya.
Peneliti Klimatologi PSTA Lapan Erma Yulihasti menjelaskan, hujan yang masih sering terjadi di wilayah barat Indonesia (Jawa dan Sumatera) sejak awal Juni, terjadi karena pengaruh dinamika laut-atmosfer di Samudera Hindia.
Dia menyebut, dinamika tersebut ditunjukan dari pembentukan pusat tekanan rendah. Yakni berupa pusaran angin (vorteks) di selatan ekuator, dekat pesisir barat Sumatera dan Jawa.
Menurut Erma, pembentukan vorteks yang sangat intensif di Samudera Hindia sejak awal Juni. Bahkan diprediksi akan bertahan sepanjang periode musim kemarau.
“Sehingga berpotensi menimbulkan anomali musim kemarau yang cenderung basah sepanjang bulan Juli-Oktober pada tahun ini,” kata Erma dikutip dari unggahan akun Instagram Lapan @lapan_ri, Rabu (23/6/2021).
Erma menyebut, potensi anomali musim kemarau basah itu juga diperkuat dengan prediksi pembentukan Dipole Mode negatif di Samudera Hindia. Yang mana berpotensi menimbulkan fase basah di barat Indonesia.
”Dipole Mode ini ditandai dengan penghangatan suhu permukaan laut di Samudra Hindia dekat Sumatera. Sedangkan sebaliknya di wilayah dekat Afrika mengalami pendinginan suhu permukaan laut,” ujarnya.
Lebih lanjut, Erma memaparkan, kondisi tersebut mengakibatkan pemusatan aktivitas awan dan hujan terjadi di Samudera Hindia sebelah barat Sumatera. Sehingga berdampak pada pembentukan hujan yang berkepanjangan selama musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia.
Download Aplikasi Borobudur News (Klik Disini)
Kemudian, penghangatan suhu permukaan laut di Samudra Hindia sebelah barat Sumatera itu juga merupakan bagian dari feedback response. Terhadap kondisi di Samudera Pasifik yang saat ini mengalami La Nina namun semakin melemah dan cenderung menuju kondisi netral.
”Meski demikian, Dipole Mode negatif ini diprediksi hanya berlangsung secara singkat, yaitu dua bulan, Juli-Agustus. Sehingga belum memenuhi kriteria Dipole Mode yang secara ilmiah harus terjadi minimal tiga bulan berturut-turut,” papar Erma.
Tambah Erma, eksistensi vorteks dan penghangatan suhu permukaan laut di perairan lokal Indonesia diprediksi akan terus berlangsung hingga Oktober. Gabungan vorteks dan anomali suhu permukaan laut lokal ini merupakan faktor pembangkit yang menyebabkan anomali musim kemarau cenderung basah pada tahun ini.
”Terutama di wilayah Indonesia bagian selatan, meliputi Jawa hingga Nusa Tenggara Timur, dan timur laut yang meliputi wilayah Maluku, Sulawesi, dan Halmahera,” pungkasnya. (mta)