Efisien Basmi Lumut, BKB Semprot Candi Borobudur Dengan Minyak Atsiri
BNews—BOROBUDUR— Balai Konservasi Borobudur (BKB) telah menghentikan penggunaan herbisida kimia. Kemudian diganti dengan minyak atsiri sereh wangi guna menghambat pertumbuhan pada batu Candi Borobudur.
Pamong Budaya Madya Balai Konservasi Borobudur, Nahar Cahyandaru mengatakan bahwa herbisida kimia bisa menyebabkan batuan candi aus dan keropos. Sementara minyak atsiri berbahan sereh wangi merupakan bahan alami dan ramah lingkungan.
Sekitar tahun 1980 hingga 1990an herbisida kimia menjadi pilihan utama membasmi jamur pada bantuan candi. Namun kemudian UNESCO melarang penggunaan bahan kimia karena dianggap berbahaya.
”Dikhawatirkan berbahaya dalam jangka panjang. (Juga) membuat aus (batuan candi) salah satunya. Karena sifatnya asam,” kata Nahar disela kegiatan penyemprotan Candi Borobudur menggunakan minyak atsiri sereh wangi, Kamis (8/4/2021).
Terkait penggunaan minyak atsiri, kata dia, dinilai lebih efisien. Sebab sekali semprot, minyak atsiri sereh wangi mampu mencegah lumut tumbuh kembali selama sekitar satu tahun.
“Satu kali semprot kita tunggu sampai ada reaksi mematikan lalu kita bersihkan. Setahun sekali (disemprot lagi) kalau mungkin sifatnya lokal. Kami coba di batu biasa itu sudah setahun tidak ada pertumbuhan lumut,” ujarnya.
Secara teknis penggunaan, Nahar mengungkapkan bahwa setiap satu meter persegi batuan candi membutuhkan 0,9 liter campuran minyak atsiri.
”Diperkirakan membutuhkan 200 liter campuran minyak atsiri sereh wangi untuk menyemprot seluruh badan Candi Borobudur,” ungkap dia.
Download Aplikasi Borobudur News (Klik Disini)
Lanjut Nahar, proses penemuan formula minyak atsiri sereh wangi membutuhkan waktu penelitian selama lima tahun. Tim peneliti mencoba berbagai jenis bahan alami hingga kemudian menemukan minyak atsiri sereh wangi sebagai bahan yang paling efektif membasmi koloni lumut dan lumut kerak.
Di Indonesia sendiri, memiliki 40 jenis minya atsiri yang sudah dikomersialkan. Selain paling efektif membasmi lumut, sereh wangi sudah banyak dibudidayakan masyarakat.
“Di lingkungan sini banyak. Ditanam di sawah, tegalan bisa tumbuh. Biasanya (ditanam) di pematang sawah. Banyak yang membudidayakan. Kami bekerja sama dengan perajin minyak atsiri,” ujar Nahar.
Direktur Jenderal Kebudayaan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid, menilai inovasi ini sesuai dengan ekosistem perlindungan cagar budaya.
”Minyak atsiri tidak tumbuh di laboratorium. Tumbuhnya di masyarakat. Misal kita harus keluar biaya untuk itu, nanti yang merasakan masyarakat. Kita lihat investasi yang pas lah,” kata Hilmar.
Temuan ini nantinya, lanjut dia, bisa diaplikasikan pada banyak candi yang tersebar di Indonesia. Bahkan mungkin bisa diekspor ke luar negeri sebagai metode perawatan candi yang ramah lingkungan.
“Batuan di luar negeri seperti Angkor Wat di Kamboja kan juga punya problem yang sama. Mungkin ini jadi invoasi yang bisa kita ekspor. Bukan mencari uangny, tapi memperlihatkan dari Borobudur lahir begitu banyak inovasi. Dari lokal untuk internasional,” pungkasnya. (mta)