Tempat Bung Karno Menyusun Strategi Kemerdekaan, Yuuk Kenali Rumah Inggit Garnasih
BNews–NASIONAL- Indonesia telah melewati sejarah panjang sampai akhirnya memperoleh kemerdekaan. Maka dari itu, berbagai tempat dan barang yang memiliki peranan penting dalam perjuangan itu, biasanya diabadikan menjadi sebuah museum atau cagar budaya. Agar rakyat dapat mempelajarinya dan mengenang peristiwa di balik itu.
Salah satu bangunan yang dijadikan cagar budaya oleh pemerintah ialah Rumah Bersejarah Inggit Garnasih. Begitulah pemerintah kota Bandung menamainya setelah diresmikan pada 23 Desember 2010. Terletak di Jalan Ciatel No.8, Kelurahan Nyengseret, Kecamatan Astana Anyar, inilah rumah istri kedua Soekarno yang menjadi saksi kegentingan dalam meraih kemerdekaan.
Di rumah ini, terdapat foto Inggit, Bung Karno dan beberapa tokoh, vitrin berisi replika batu pipisan, replika surat kawin, piagam penghargaan, dan sebuah lampu gembreng.
Rumah Bersejarah Inggit Garnasih memang tampak sepi, tidak banyak ornamen atau benda peninggalan di dalamnya, tapi peristiwa penting dalam sejarah Indonesia pernah terjadi di sini. Di rumah inilah, Soekarno belajar, ditempa, menyusun strategi gagasan kemerdekaan. Banyak pertemuan penting dilakukan di dalam rumah ini.
Inggit dan Soekarno tinggal di sini dari 1926 sampai 1934. Rumah tersebut telah melahirkan buah pemikiran dan konsep untuk mencapai kemerdekaan. Beberapa di antaranya: Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, PNI 4 Juli 1927 yang kemudian diganti menjadi PARTINDO 29 April 1931.
Rumah bersejarah ini terikat sangat kuat dengan para pejuang karena di sinilah para pelopor kemerdekaan berkumpul, seperti Ki Hajar Dewantara, Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, Suyudi, M. Yamin, Moh. Hatta, Trimurti, Ali Sastro, K.H. Mas Mansur, Soetomo, M.H. Thamrin, Abdoel Muis, Asmara Hadi, serta kakak dari R.A. Kartini, yakni Sosro Kartono. Mereka sering mengadakan pertemuan di rumah Inggit, berbagi ide dan gagasan, untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Museum ini rencananya akan dikembangkan sebagai Pusat Studi Peranan Kaum Ibu dalam perjuangan bangsa. Hal tersebut bertujuan untuk menumbuhkan semangat nasionalisme generasi muda Indonesia.
DOWNLOAD APLIKASI BOROBUDUR NEWS (KLIK DISINI)
Lingkungan rumah Inggit telah berubah, sekarang ia dikelilingi pasar dan pertokoan. Meski begitu, bangunan bersejarah ini terjaga dengan baik dan tidak banyak mengalami perubahan. Mulanya, rumah Inggit berbentuk rumah pangung, kemudian diberi pondasi beton karena setelah Inggit meninggal, rumah itu terbengkalai, beberapa bagiannya rusak, dan hampir roboh. Oleh sebab itu, pemerintah pun melakukan revitalisasi, lalu membuka tempat ini untuk umum.
Saat ini memang tampaknya Rumah Bersejarah Inggit Garnasih kurang diminati masyarakat. Namun, pemerintah setempat terus melakukan langkah-langkah konkrit untuk mengenalkan museum ini kepada generasi muda.
Inggit Garnasih lahir pada 17 Februari 1888 di Desa Kemasan, Banjaran, Kabupaten Bandung. Dalam surat nikahnya, usia Soekarno tercantum 24 tahun (padahal 22), sedangkan Garnasih 23 tahun (padahal 35 tahun).
Ketika Soekarno berpindah-pindah penjara, mulai dari Banceuy lalu ke Sukamiskin, Garnasih harus berjuang sendiriang demi menyambung hidup. Ia hampir setiap hari berpuasa, menjahit, menjual bedak yang dibuatnya sendiri, pakaian, kutang, peralatan pertanian, serta menjadi agen sabun.
Selain itu, ketika Bung Karno diasingkan ke Ende, Bengkulu, dan Flores, Inggit berserta keluarganya selalu ikut kemanapun sang suami pergi. Hingga tiba masanya Bung Karno meninginkan keturunan, namun Inggit tidak dapat memberikannya. Inggit pun kembali ke rumahnya di Bandung setelah Soekarno menceraikannya dan menikahi Fatmawati.
Ketika Agresi Militer Belanda I dan II berkecamuk (1946-1949) dan melahirkan Bandung Lautan Apu, Inggit bersama anak cucunya mengungsi ke Banjaran dan meninggalkan rumahnya di Jalan Citael, lalu pindah ke Garut. Pada 1949, Inggit pun berkeinginan memiliki rumah seperti dulu.
Singkat cerita, menantu Inggit bersama rekannya, menghimpun dana dan membangun sebuah rumah menggunakan tanah yang sama dengan rumah Inggit dulu. Pada 1951, rumah bergaya Belanda itu pun selesai dibangun. Inggit menetap seorang diri bersama anak cucu sampai akhirnya menutup mata. (*/gnfi)