Tradisi “Bopong Pengantin” Masih Kental Dalam Prosesi Pernikahan Jawa
BNews–JATENG– Sebuah prosesi pengantin Jawa acap kali nganeh-nganehi dan tidak terduga. Tidak cukup menjalani akad nikah, menginjak telur, mandi kembang setaman, tabur koin bercampur beras kuning, dan lain sebagainya.
Jika kemudian iring-iringan pasangan pengantin melewati jembatan dengan bentangan sungai besar, mereka pantang untuk berjalan kaki atau naik kendaraan. Mereka wajib dibopong oleh kedua belah pihak keluarga pasangan pengantin, dari ujung sampai batas jembatan.
Tradisi bopong pengantin ini, merupakan kebiasaan semacam kepercayaan yang tak tertulis. Namun tradisi itu sudah berlangsung cukup lama dari warisan nenek moyang.
Usai pasangan pengantin dibopong, pihak keluarga mempelai putri melepas sepasang anak ayam; betina dan jantan.
Peristiwa unik semacam itu hampir punah di era modern, baru-baru ini terjadi saat mempelai putri dari Desa Mejasem Timur, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, dan mempelai putra dari Desa Kalimati, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, melewati jembatan Prepil perbatasan antara Desa Mejasem Barat dan wilayah Kelurahan Slerok, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal.
Menurut ayah dari mempelai putri, Ipuk Prokem, tujuan iring-iringan sepasang pengantin itu, tengah menuju tempat kediaman mempelai putra.
“Karena tempat kediaman mempelai putra berada di Desa Kalimati, Adiwerna, sedangkan kediaman mempelai putri berada di Desa Mejasem Timur, dan jalan satu-satunya melewati jembatan Prepil. Sesuai tradisi nenek moyang, kedua mempelai pengantin wajib dibopong setelah melepas sepasan titik,” ujarnya.
DOWNLOAD APLIKASI BOROBUDUR NEWS (KLIK DISINI)
Lebih lanjut dia menuturkan, untuk tugas sebagai pembopong mempelai putri, dipercayakan kepada saudara lelakinya yang dilangkahi adiknya menjalani pernikahan. Sementara bagi mempelai pengantin putra, dilakukan oleh familinya.
“Bagi kami, dilaksanakan prosesi semacam itu hanya sekadar nguri-uri tradisi yang hampir punah. Adapun tradisi itu konon sebagai tolak bala, ‘embuh temen;. Kepercayaan kami hanya kepada Allah Yang Maha Kuasa.” Yang dimaksud tembung “embuh temen” oleh ayah dari mempelai pengantin putri, berasal dari bahasa Tegalerin, artinya “entahlah”.
Ditambahkan, tradisi itu tidak hanya prosesi bopong penganti, melainkan, sebelumnya telah berlangsung “Budaya Halimun”. Tradisi atau Budaya Halimun ini berlangsung usai pasangan pengantin melaksanakan akad nikah.
“Prosesi budaya itu dilaksanakan setelah akid, dan setelah rampung pengantin jejer di pelaminan, mereka melakukan jalan-jalan mengelilingi lingkungan di sekitar kediaman mempelai putri, yang dinamakan Budaya Halimun” ujarnya.
Diterangkan, prosesi itu dikandung maksud untuk menghalau segala keruwetan, cobaan, dan rintangan-rintangan lain sebelum mereka memulai menempuh hidup baru sebagai pasangan suami istri,” ujar Ipuk Prokem menerangkan dan memungkasi obrolan. (Penulis : Lanang Setiawan, novelis penerima hadiah Sastra “Rancagé” 2011)