Dialog Budaya Warga Lereng Menoreh Magelang, Marwah Air Untuk Ekonomi Budaya Borobudur

BNews-MAGELANG- Masyarakat yang tinggal di kawasan perbukitan Menoreh Kabupaten Magelang mulai dikenalkan; dengan metode memanfaatkan air hujan sebagai air minum melalui Dialog Budaya dengan topik: Mengembalikan Marwah Air untuk Ekonomi Budaya Borobudur di Balkondes Desa Kenalan Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang pada Rabu (13/12/2023).

Panitia Dialog dan Pentas Budaya, Eri Kusuma, menyatakan bahwa kegiatan ini merupakan rangkaian pra-kegiatan; dari Ruwat Rawat Borobudur yang telah berlangsung selama 22 tahun, sekaligus memperingati 32 tahun penetapan Borobudur sebagai warisan dunia.

Kegiatan ini juga didukung oleh Museum dan Cagar Budaya (MCB) Unit Warisan Dunia Candi Borobudur; dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi.

Menurut Eri, sejumlah narasumber potensial diundang untuk berpartisipasi dalam kegiatan ini, antara lain Prof Muji Susanto; Dr Budiana Setiawan, Dr Wiliem Chan, peneliti Badan Riset Nasional (BRIN) Novita Siswayanti; dan Wardi, peracik usaha herbal Jamu Deka Muntilan Dwi Kuntari dan Sri Wahyuningsih dari Sekolah Air Hujan Banyubening, Sleman, Yogyakarta.

“Eri mengatakan bahwa Desa Kenalan terletak di daerah perbukitan tinggi Menoreh dengan sumber air yang terbatas. Oleh karena itu, kita perlu memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai cara memanfaatkan air hujan yang belum banyak diketahui oleh masyarakat di Desa Kenalan,” kata Eri saat kegiatan berlangsung pada Rabu (13/12).

Sebagai narasi pembuka, budayawan pemrakarsa Ruwat Rawat Borobudur, Sucoro Setrodiharjo atau Mbah Coro; menjelaskan bahwa menurut sejarah, Candi Borobudur dahulu berada di tengah danau purba.

“Candi Borobudur merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia, sehingga membutuhkan rasa memiliki dari masyarakat dalam pelestariannya,” katanya.

DOWNLOAD APLIKASI BOROBUDUR NEWS (KLIK DISINI)

Seperti halnya masyarakat di daerah kering lainnya, warga Desa Kenalan Kecamatan Borobudur juga menghadapi berbagai beban akibat bencana alam dan perubahan musim.

Kepala Desa Kenalan, Agus Waluyo, menyatakan bahwa Desa Kenalan juga memiliki potensi alam yang indah; seperti wisata puncak Gondopurowangi yang berbatasan dengan pegunungan Menoreh Provinsi Jawa Tengah – DIY.

Untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, lanjutnya warga Desa Kenalan mengandalkan sumur bor dengan kedalaman minimal 120 meter.

“Selain itu, terdapat pula 170 produsen makanan olahan berbahan dasar ketela pohon yang diolah secara manual, serta produk Batik dan kerajinan tikar anyaman pandan yang dijual di pasar Jagalan Kulonprogo dengan harga murah sebesar 75 ribu per 5 meter,” paparnya.

Pada musim kemarau, warga Desa Kenalan dan daerah perbukitan Menoreh lainnya menghadapi kesulitan dalam pengolahan tanah karena minimnya sumber air. Oleh karena itu, sebagai sumber ekonomi, mereka terbiasa menanam palawija, rempah-rempah jamu (empon-empon), dan tanaman lain yang tahan terhadap cuaca.

Hal tersebut juga didukung oleh peneliti Badan Riset Nasional (BRIN), Novita Siswayanti, yang mengungkapkan’ bahwa terdapat korelasi antara kehidupan masyarakat Desa Kenalan dengan monumen Candi Borobudur, seperti yang tergambar pada relief yang menggambarkan manusia, pohon, dan lainnya. Pada masa Syaelendra, masyarakat telah melestarikan alam.

Sementara itu, Sri Wahyuningsih dari Sekolah Air Hujan Banyubening, Sleman, Yogyakarta, menjelaskan bahwa di tempatnya; air hujan digunakan sebagai minuman seperti wedang rempah dan lainnya. Ia merasa prihatin karena warga Desa Kenalan tidak dapat mengunjungi Candi Borobudur. Menurutnya, masyarakat perlu menciptakan ikon sendiri dan membuat sejarah tersendiri dengan memanfaatkan air hujan sebagai solusinya.

“Jika ingin belajar tentang air hujan, datanglah ke tempat kami. Kami memiliki jargon ‘ngumbe banyu udan ben ra edan’, yang artinya minum air hujan agar tidak edan,” ujar Sri Wahyuningsih. (bsn)

About The Author

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!