Kisah Seorang Pria Menginap Di Hotel Gantung Satu-Satunya Di Indonesia, ISTIMEWA !!!
BNews–NASIONAL– Kisah seorang pria yang menginap di sebuah kamar hotel yang berbeda dari biasanya. Hotel dengan kamar transparan yang saya tinggali ini terletak di dinding tebing, sejauh 500 meter dari permukaan tanah. Bayangkan saja bagaimana rasanya.
Namanya hotel gantung atau skylodge yang berada di di Gunung Parang, Purwakarta, Jawa Barat. Menuju kesana tidaklah gampang, Pria bernama Dhanni harus memanjat tebing batu yang nyaris selalu vertikal menggunakan Via Ferrata–tangga besi dengan diameter sekitar satu sentimeter.
Tampaknya pengelola hotel yang juga menjadi pemandu saya hari ini, Dhanni Daelami, menangkap kecemasan di wajah saya. Apalagi kaki saya tidak henti-hentinya bergetar.
“Pegangannya nggak usah kencang-kencang, mas. Santai saja,” kata Dhanni, yang berada beberapa anak tangga di bawah saya.
“Dan benar, ketika saya mencoba melemaskan tubuh, kecemasan juga terasa berkurang,” katanya.
Dhanni adalah seorang pecinta olahraga panjat tebing. Bersama sejumlah rekannya, dia membangun hotel gantung di Gunung Parang ini akhir tahun lalu, “agar masyarakat biasa tahu bagaimana rasanya tidur di dinding gunung, seperti anak-anak panjat tebing.”
Rencananya tersebut didukung bantuan dana dari Bupati setempat, Dedi Mulyadi. Dia menganggap tebing Gunung Parang akan mampu memikat wisatawan jika ada hal yang unik.
DOWNLOAD APLIKASI BOROBUDUR NEWS (KLIK DISINI)
“Kalau cuma panjat tebing, itu kan nggak unik. Hotel di tebing, itu baru unik.”
Setelah setengah jam memanjat tebing, saya mulai terbiasa. Melihat jurang yang menganga jauh di bawah, tidak lagi menakutkan. Apalagi di belakang saya terpampang pemandangan indah alam hijau Purwakarta, dan Waduk Jatiluhur, yang terhampar luas diselang-selingi sejumlah gunung batu.
Kapsul tempat saya akan menginap malam itu mulai terlihat setelah sekitar satu jam mendaki. Hotel gantung itu disebut-sebut sebagai yang “tertinggi di dunia”, mengalahkan skylodge di Peru yang terletak di ketinggian 400 meter.
Amankah?
Ternyata memanjat tebing bukanlah pengalaman paling menegangkan untuk menuju hotel. Ketika sampai di ketinggian 500 meter, kami harus melewati Tyrolean, menggelantung dan melayang horizontal sejauh 100 meter seperti atraksi Flying Fox.
Bagian ini terasa lebih menegangkan dibandingkan saat memanjat Via Ferrata mengingat kontrol masih ada di tangan dan kaki saya yang memegang tangga, selain pada tali pengaman yang selalu terpasang.
Ketika melalui Tyrolean, saya hanya bisa mempercayakan keselamatan saya pada tali yang melingkari badan, dan tertaut ke rel.
Dan akhirnya sampailah kami di atas hotel yang dibuat Dhanni dan teman-temannya selama sebulan dengan dana Rp250 juta itu. Angin yang sesekali bertiup kencang memaksa saya terus memegang Sling Cable.
Pemandangannya memang menakjubkan, meskipun saya tidak henti-hentinya bergidik melihat betapa tingginya posisi kami.
Saya pun tak tahan menanyakan satu hal yang terus mengiang sejak rencana menginap di hotel ini muncul: apakah aman?

“Kalau dibilang aman, aman 100%. Karena satu sling kabel ini kekuatannya adalah satu ton,” kata Dhanni sambil menunjuk kabel-kabel yang tertambat ke batu, tempat kapsul hotel menggantung.
“Dan di sini ada 20 sling. Jadi dikalikan 20, bisa kuat menahan beban 20 ton. Sedangkan berat kotor skylodge ini hanya sekitar dua ton.”
Dhanni pun menambahkan, hotel kapsul ini dibuat dari bahan polikarbonat yang “anti peluru”, sehingga kuat.
Lalu, tidakkah melubangi batu gunung sebagai tempat tambatan kabel dan Via Ferrata, merusak lingkungan?
“Banyak yang menanyakan ini,” ujar Dhanni.
“Namun, saya yakin ini tidak merusak alam. Karena titik-titik (di batu) yang dilubangi itu kedalamannya cuma 20cm. Justru kita mencegah supaya tidak merusak bebatuan. Kita menambahkan nilai estetika dari bebatuan itu sendiri… Lebih baik begini dari pada batu gunung ini ditambang,” paparnya.
AC, toilet dan microwave di ketinggian
Kesan pertama saya ketika masuk ke dalam kapsul hotel adalah kamarnya terasa seperti kamar hotel biasa. Ada listrik dan pendingin ruangan (AC), yang arusnya dibawa lewat kabel PLN yang ditarik dari kaki gunung.
Tidak hanya itu, di dalam kamar juga ada kloset duduk, dan di bawahnya ada tangki septik tempat kotoran ditampung dan diendapkan.
Makanan instan juga disediakan dan bisa dipanaskan dengan microwave yang ada di dalam kamar.
Hingga saat ini baru ada satu kapsul hotel di Gunung Parang. Biaya paket menginapnya pun bisa dibilang tidak murah, Rp5.000.000 per kamar per malam.
Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, mengungkapkan tahun dia akan menambah “sembilan unit” kamar kapsul baru, lengkap dengan kereta gantung atau lift, untuk membawa tamu yang tidak tertarik memanjat tebing.
Dana sebesar Rp15 miliar pun telah disiapkan.
Malam itu rencana saya melihat bintang dari kamar yang berdiding transparan itu gagal karena langit mendung.
Perlahan kekhawatiran kembali muncul. Pasalnya saya dan seorang rekan kameraman yang ikut dalam perjalanan ini, ditinggalkan berdua di kamar. Dhanni yang memandu kami sampai ke atas, kembali turun gunung. Kami hanya dibekali handy talky untuk mengontak Dhanni.
Meskipun Dhanni berkata bahwa hotel aman, perasaan saya tetap dihantui kecemasan tentang longsor dan kontruksi ambruk yang belakangan terjadi di berbagai lokasi di Indonesia.
Suara bulir hujan semakin kencang. Letih memanjat tebing, ternyata jauh lebih kuat memakan tubuh. Di ujung-ujung sadar, saya memilih percaya bahwa hotel kapsul ini kuat menahan beban 20 ton. Saya pun jatuh terlelap di penginapan tebing tertinggi di dunia. (*/BBC)