Memori Bioskop Indra: Saat Listrik Pertama Kali Memasuki Jogja pada 1917

BNews-JOGJA- Dahulu, layar lebar adalah sesuatu yang langka di Indonesia. Oleh karena itu, Bioskop Indra di Yogyakarta menjadi tempat para elit Eropa mencari hiburan.

Bioskop Indra, yang sekarang dikenal sebagai Teras Malioboro I, adalah bioskop pertama di Yogyakarta dan juga menjadi saksi perkembangan perfilman Indonesia.

Bioskop Indra didirikan pada tahun 1917 oleh seorang pengusaha Belanda bernama Helland Muller. Bioskop Indra terdiri dari dua bagian, Gedung Al Hambra untuk elit Eropa dan Tionghoa, serta Gedung Mascot khusus untuk masyarakat pribumi.

“Ketika listrik masuk ke Jogja pada tahun 1917, seorang pengusaha Belanda bernama Helland Muller membuka bioskop pertama bernama Al Hambra. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan kota Jogja yang banyak dihuni oleh penduduk Eropa,” kata Baha Uddin, seorang dosen Departemen Sejarah UGM, seperti dilansir detik jogja.

Menurut Baha, pada masa itu para elit Eropa merasa membutuhkan hiburan yang sesuai dengan kelas mereka. Oleh karena itu, Bioskop Indra didirikan pada abad ke-20. Bioskop ini menjadi ikon rekreasi modern bagi masyarakat Yogyakarta saat itu.

“Orang-orang Eropa saat itu adalah para administratur. Pada waktu itu ada sekitar 19 pabrik gula di Jogja dan banyak karyawan mereka terdiri dari orang Eropa. Mereka membutuhkan hiburan yang modern yang dapat diterima oleh masyarakat kelas mereka. Karena itu, di Jogja ada banyak Societeit, tempat untuk bermain biliar, tempat untuk berdansa, dan lain-lain. Salah satunya adalah bioskop,” ujar Baha.

Lebih lanjut, pada masa itu klasifikasi kelas sosial masih sangat jelas terlihat. Hal ini terlihat dari tempat pembelian tiket Bioskop Indra, harga tiket masuk, dan fasilitas di dalam bioskop tersebut.

DOWNLOAD APLIKASI BOROBUDUR NEWS (KLIK DISINI)

Gedung Al Hambra saat itu sudah menggunakan kursi empuk, sedangkan Gedung Mascot masih menggunakan kursi biasa. Tiket masuk untuk Al Hambra sendiri tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan harga tiket Gedung Mascot.

“Orang pribumi membeli tiket di depan Pasar Beringharjo. Sedangkan tiket Al Hambra dijual di Hotel Merdeka, yang sekarang menjadi Garuda,” katanya.

“Kursi dan fasilitasnya berbeda. Memang kelas sosial pada waktu itu membedakan fasilitasnya. Fasilitas untuk orang pribumi adalah kursi biasa, sedangkan Al Hambra sudah menggunakan kursi empuk. harga tiketnya juga berbeda. Tiket Al Hambra sekitar 3 gulden, sedangkan tiket Mascot seharga 1 gulden. Genre filmnya sama karena pada awalnya masih film bisu,” tambah Baha.

Industri bioskop di Yogyakarta sempat terhenti setelah kolonialisme Belanda berakhir, kemudian digantikan oleh kekuasaan Jepang. Film dari luar negeri dilarang masuk, dan gedung bioskop digunakan untuk memutar film propaganda Jepang.

“Industri bioskop di Jogja mati saat masa Jepang karena Jepang melarang impor film dari luar negeri dan menggantinya dengan film-film propaganda mereka sendiri. Semua gedung bioskop diambil alih oleh Jepang untuk menayangkan film-film propaganda,” kata Baha.

“Jadi pada masa itu, tidak ada lagi film hiburan. Yang ada hanya film-film Jepang yang digunakan untuk memperlihatkan kepahlawanan Jepang sebagai pahlawan Asia,” tambahnya.

Baru pada tahun 1948, ketika Yogyakarta menjadi ibu kota Indonesia, industri bioskop di Yogyakarta mulai bangkit kembali. Namun, ada kebijakan penggalangan dana revolusi sebesar 25-30% dari harga tiket bioskop. Dana tersebut digunakan untuk biaya perang pemerintah Indonesia.

“Baru setelah itu (bioskop) mulai bangkit lagi pada tahun 1948, ketika Yogyakarta menjadi ibu kota RI. Saat itu, ada lembaga yang bernama PPBI dan PERFEBI (Peredaran Film dan Eksploitasi Bioskop Indonesia). Lembaga ini mengimpor film-film barat ke Indonesia. Oleh karena itu, mulai tahun 1948, gedung bioskop tidak murni digunakan untuk hiburan karena juga digunakan pemerintah untuk menggalang dana revolusi,” ujar Baha. (*/detikjogja)

About The Author

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: