BNews— MAGELANG— Pemerintah Kabupaten Magelang “diberdeli” dalam audiensi dengan warga Deyangan yang difasilitasi oleh DPRD setempat, siang tadi. Dalam proses penjelasan yang disampaikan Pemkab Magelang terkesan saling lempar dan tidak memiliki data yang akurat.
Oleh Ketua DPRD Sariyan Adi Yanto, Pemkab diminta menjelaskan proses pencabutan Ijin PT Woneel yang sudah sempat diterbitkan. Mengingat, dalam proses ini, Pemkab Magelang berkali-kali inkonsisten terkait proses pengajuan ijin. Dimana, Pemkab Mendasari Perpres Nomoer 58 tahun 2014 namun dalam beberapa kali surat yang dikeluarkan mendasari perda tata ruang.
Salah satu kerancuan dalam proses tersebut adalah terbitnya beberapa kali SKRK (Surat Keterangan Rencana Kabupaten) oleh DPU ESDM. Dimana, dalam surat pertama DPU ESDM saat itu menerbitkan SKRK yang tidak merkomendasikan didirikannya pabrik. Namun, kemudian terbit kembali SKRK kedua yang merekomendasikan pendirian pabrik di Deyangan tersebut karena tidak melanggar tata ruang.
Namun, belakangan, DPU justru mengajukan surat kepada Kementrian Agraria dan Tata Ruang (ATR) yang kemudian dijawab bahwa daerah tersebut tidak boleh didirkan pabrik karena merupakan sub kawasan pelestarian (SP) Candi Borobudur. ”Ini jelas rancu sudah menerbitkan SKRK yang merekomendasikan pendirian pabrik namun dalam waktu yang tidak lama keluar surat dari kementrian ATR atas surat yang diminta oleh DPU ESDM,” kata Sariyan.
Dia menilai proses penerapan Perpres 58 tahun 2015 ini terkesan tebang pilih. Mengingat banyak banunan di SP Candi Borobudur yang diberikan ijin oleh Pemkab Magelang.
Selain itu, dalam proses tersebut, Pemkab Magelang tidak konsisten dalam membuat dasar hukum yang dijadikan landasan. Yakni antara Perpres 58 Tahun 2014 dan Perda Perda Nomor 5 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang dan wilayah. ”Prepres ini terbit pada 2014 sementara Perda terbit pada 2015 kenapa saat proses dikeluarkannya SKRK pada 2016 DPU ESDM justru memdomani Perda sementara dalam surat yang diajukan ke Kementrian ATR untuk menganulir ijin pertama justru mendasari Perpres 2014,” tutur dia.
Selain itu, dalam proses tersebut, Pemkab Magelang tidak konsisten dalam membuat dasar hukum yang dijadikan landasan. Yakni antara Perpres 58 Tahun 2014 dan Perda Perda Nomor 5 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang dan wilayah. ”Prepres ini terbit pada 2014 sementara Perda terbit pada 2015 kenapa saat proses dikeluarkannya SKRK pada 2016 DPU ESDM justru memdomani Perda sementara dalam surat yang diajukan ke Kementrian ATR untuk menganulir ijin pertama justru mendasari Perpres 2014,” tutur dia.
Mantan Kepala DPU ESDM Sutarno mengatakan bahwa proses keluarnya SKRK mendasari dengan perda tata ruang. Di SKRK kedua dia mengaku merekomendasikan untuk bisa didirikan pabrik dalam skala usaha kecil dan menengah. Dimana, besar kecil usaha diukur dari modal yang disertakan. ”Dalam SKRK yang terbit dua kali saya memberikan dasar pasal yang berbeda,” paparnya.
Menanggapi proses rumit yang dijelaskan oleh pejabat Pemkab Magelang, perwakilan warga Deyangan mengaku tidak puas. Mereka menilai Pemkab Magelang hanya menggunakan aturan untuk mendeskreditkan pengajuan pabrik di wilayah mereka.
”Intinya kita hanya butuh kepastian. Apakah Bupati akan merevisi kembali SK pencabutan ijin pendirian pabrik atau akan tetap memedomani Perpres tentang KSN,” kata Pujiyanto perwakilan warga.
Berita Lainnya
Jika Pemkab Magelang bersikikuh mendasari Perpres tentang KSN maka, warga mengaku akan mengambil langkah dengan menutup dan membongkar bangunan yang tidak sesuai KSN namun banyak berdiri dan diijinkan Pemkab.
Ketua DPRD Sariyan Adi Yanto memberikan jalan tengah. Menurutnya, ada tiga opsi yang bisa ditempuh demi memberikan kepastian hukum kepada investor. Yakni menelaah kembali SK Bupati tentang pencabutan ijin pendirian perusahaan, atau dengan tetap melarang pendirian pabrik tersebut.
Opsi lain adalah menerapkan UU Nomer 26 tahun 2007, dimana Pemkab Magelang meminta pemohon untuk melakukan penyesuaian sesuai yang diamantkan oleh Perda Tata Ruang dan Perpres KSN. ”Misalkan tadi disebutkan bahwa boleh didirkan perusahan dalam skala menengah. Nah itu bisa dilakukan penyesuaian,” paparnya.
Selain itu, dia berharap Pemkab Magelang membangun komunikasi aktif dengan masyarakat Desa Deyangan dan PT Woneel selaku pemohon ijin supaya proses ini memiliki kepastian hukum yang pasti. (bn1)