Tersebar Di Pulau Jawa, Napak Tilas Laskar Diponegoro Dirikan Pesantren
BNews–MAGELANG– Siapa yang tidak kenal dengan tokoh Pahlawan Pangeran Diponegoro. Terutama masyarakat di Magelang, dimana Pangeran Diponegoro dulunya berada untuk berjuang dan menyebarkan ajaran islam.
Dikutip dari Sejarahwan bernama Peter Carey dalam bukunya, “Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855,”. Dimana dituliskannya kurang lebih ada 108 kiai, 31 haji, 15 syekh; 12 penghulu Keraton Yogyakarta, dan 4 kiai-guru (mursyid tarekat) yang turut berperang bersama Pangeran Diponegoro.
Di antara mereka yang adalah Kiai Mojo, ideolog Perang Jawa yang banyak disebut sebagai penasehat spiritual-intelektual sang pangeran.
Dukungan dari para ulama datang karena sejak kecil Diponegoro sering mengunjungi berbagai pesantren di wilayah Yogyakarta. Serta ditempa secara spiritual oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng yang dikenal salehah.
Nenek buyut Diponegoro ini selain dikenal sebagai perempuan yang memiliki pengetahuan agama Islam, juga dihormati karena keperkasaannya. Yakni saat mendampingi Sultan Hamengku Buwono I ketika berjuang menghadapi Belanda selama Perang Giyanti (1746-1755).
Dalam buku lainnya, “Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855)” Carey menyebutkan, didikan dari neneknya yang membuat Raden Mas Ontowiryo;—nama kecil Diponegoro—mengenal dekat jejaring para ulama di wilayah Mataram.
Kiai Mojo, salah satu penasehat Diponegoro, mengajar kitab Fath al-Wahhab karya Zakariyya al-Anshari (w. 926 H) kepada para kiai lain dan juga kepada para komandan pasukan.
DOWNLOAD APLIKASI BOROBUDUR NEWS (KLIK DISINI)
Dalam jurnal ilmiah berjudul “Menelusuri Jejak Laskar Diponegoro di Pesantren” diterbitkan di FALASIFA : Jurnal Studi Keislaman karya Rizal Mumazziq Z STAI Al-Falah As-Sunniyyah Kencong Jember, dikupas penyebaran prajurut Pangeran Diponegoro pasca-Perang Jawa.
Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, para kiai yang menjadi perwira tinggi dalam kesatuan tempur menyebar, mendirikan sebuah masjid dan merintis pendirian pondok pesantren untuk mengajar ngaji.
Mereka sebagian besar menyebar ke wilayah Kedu, Yogyakarta dan Magelang, beralih ke wilayah Timur. Langkah strategis seperti ini ditempuh untuk mengimbangi taktik benteng stelsel Belanda, dalam Perang Jawa.
Mereka bersama pengikutnya membuka lahan baru (babat alas) menempati desa-desa yang miskin nilai agamanya .
Di Magelang, terdapat Pondok Pesantren Pabelan yang didirikan oleh Kiai Haji Muhammad Ali bin Kiai Kertotaruno (sekitar tahun 1800-an ), pengikut setia Pangeran Diponegoro. Kiai Kertotaruno adalah keturunan Sunan Giri salah satu wali penyebar agama Islam di Tanah Jawa .
Di Wonosobo, terdapat Pondok Pesantren al-Asyariyah Kalibeber yang terletak di Desa Kalibeber, Kecamatan Mojotengah, dirintis oleh Raden Hadiwijaya anak dari Kiai Nida Muhammad, salah seorang ulama yang ikut mendampingi Diponegoro.
DOWNLOAD APLIKASI BOROBUDUR NEWS (KLIK DISINI)
Hadiwijaya mengubah namanya menjadi Muntaha. Tahun 1832 , dia menyingkir ke Dusun Karangsari, Desa Kalibeber. Di sini , dengan dibantu oleh Mbah Glondong Jogomenggolo, salah seorang tokoh lokal yang sangat berpengaruh, Kiai Muntaha merintis sebuah padepokan dan langgar sederhana di Dukuh Karangsari, Sarimulyo, Kalibeber, di pinggir Kali Prupuk. Setelah membina santri selama 28 tahun, anggota laskar Diponegoro ini wafat pada 1860.
Di Temanggung, terdapat nama ulama legendaris, Kiai Subkhi, yang banyak dirujuk oleh para pejuang pada saat perang. Kiai Subkhi adalah putra salah satu pengikut Diponegoro yang setelah undur diri dari medan tempur memutuskan mendirikan sebuah pesantren di sebuah desa bernama Parakan
Pesantren-pesantren didirikan oleh para prajurit dan pengikut Pangeran Diponegoro. Kyai Idris cucu Kyai Rozi, seorang pembantu Pangeran Diponegoro bersama Kyai Mojo menghidupkan kembali Pondok Jamsaren Solo pada 1878 setelah ditinggal Kyai Jamsari ke Kediri.
Di antara santri-santrinya di Jamsaren adalah, Kyai Mansyur (pendiri Ponpes Al-Mansyur Klaten), Kyai Dimyati (pendiri Ponpes Termas, Pacitan), Kyai Zarkasyi (pendiri Pondok Gontot Ponorogo), Syeich Ahmad al-Hadi (tokoh Islam kenamaan di Bali), Kyai Arwani Amin (Kudus), dan Kyai Abdul Hadi Zahid (pengasuh Ponpes Langitan, Tuban).
Di Magetan, ada Pesantren Takeran, yang didirikan oleh Kiai Kasan Ngulama (Kiai Hasan Ulama), seorang guru Tarekat Syattariyah, yang juga merupakan putera Kiai Khalifah, pengikut setia Pangeran Diponegoro.
DOWNLOAD APLIKASI BOROBUDUR NEWS (KLIK DISINI)
Jombang, terdapat nama Kiai Abdussalam, salah seorang pasukan Diponegoro, yang merintis pondok di Desa Tambakberas. Abdus Salam adalah putera dari Abdul Jabar, putera Ahmad, putera Pangeran Sumbu, putera Pangeran Benowo, putera Jaka Tingkir (Mas Karebet), putera Lembu Peteng, putera Brawijaya V.
Nama Kiai Abdus Salam kemudian lebih dikenal dengan nama Shoichah atau Kyai Shoichah. Beliau kemudian menikahi seorang puteri dari kota Demak, yaitu Muslimah. Dari pernikahannya, beliau dikaruniai beberapa putera dan puteri. Mereka antara lain: Layyinah, Fatimah, Abu Bakar, Marfu’ah, Jama’ah, Mustaharoh, Ali Ma’un, Fatawi, dan Abu Syakur.
Ketika babat alas, ia bersama pengikutnya mendirikan sebuah langgar kecil dan pemondokan di sampingnya untuk 25 pengikutnya.
Di kemudian hari, Bani Abdussalam mendominasi jaringan ulama di wilayah Jombang, Kediri, dan sekitarnya. Hal ini dikarenakan mayoritas silsilah para kiai di wilayah ini mengerucut pada namanya.
Salah seorang puterinya, Layyinah, dipersunting Kiai Usman yang kemudian menurunkan Kiai Asy’ari, ayah dari KH. M. Hasyim Asy’ari.
Masih banyak pesantren lain yang tersebar di pulau Jawa hasil rintisan Laskar Diponegoro. (*)