Batik Sokaraja Butuh “Political Will” Pemerintah
BNews—JATENG— Dosen Fisip Unsoed, Dr Adhi Iman Sulaiman, SIP , M.Si menegaskan bahwa untuk melestarikan batik Sokaraja dibutuhkan political will dari Pemerintah Kabupaten Banyumas. Hal itu disampaikannya di sela-sela mendampingi mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2020 saat melakukan proses dokumentasi tugas mata kuliah untuk liputan dan pembuatan video youtube sebagai media kampanye pelestarian batik, di Sokaraja, Kamis (27/10/2022).
“Para perajin maupun tenaga terampil membatik saat ini rata-rata sudah tua, di atas usia 50 tahun. Jumlah mereka terus berkurang, karena meninggal. Sedangkan generasi muda lebih cenderung menginginkan kerja seperti di sektor formal menjadi karyawan atau kantoran. Karena menjadi pembatik dinilai kurang prospektif. Keadaan seperti ini sangat mengancam kelestarian sentra Batik di Sokaraja,” ujar Adhi Iman.
Adhi Iman selama ini dikenal sebagai periset tentang batik. Dalam risetnya selama empat tahun belakangan ini di berbagai tempat di wilayah Banyumas Raya, 2018-2022, regenerasi membatik menjadi suatu keprihatinan.
Adhi Iman diminta tanggapannya menyusul keluhan para perajin batik di sentra batik Sokaraja. Karena kesulitan mencari tenaga muda untuk melanjutkan warisan budaya berupa batik. Padahal, dulu sekitar tahun 1970-1980 an, Sokaraja dikenal sebagai sentra batik ternama.
“10 tahun lalu, saya masih punya tenaga terampil membatik sampai 15 orang. Sekarang tinggal 3 orang,” ujar Heru Santoso, pemilik batik R Sokaraja.
Untuk mengatasi regenerasi membatik dan berbagai persoalan, termasuk tentang pemasaran, kata Adhi Iman, harus ada political will atau kebijakan dari Pemkab Banyumas. Yang mendukung upaya pelestarian batik Sokaraja.
IKUTI BOROBUDUR NEWS di GOOGLE NEWS (KLIK DISINI)
Political will atau kebijakan yang mendukung itu, diantaranya menetapkan seragam batik semua lembaga pendidikan. Mulai dasar sampai perguruan tinggi, pegawai negeri atau pemerintahan dari desa sampai kabupaten. Termasuk pihak swasta untuk membeli batik tulis, batik kombinasi dan batik cap kepada pengrajin batik lokal
Kemudian kebijakan untuk memasukan materi pelajaran membatik sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah sedini mungkin. Semisal di tingkat SD atau SMP sudah belajar mendesain batik dengan media kertas dan cat lukis.
“Pada tingkat SMA atau SMK sudah mulai membuat desain motif batik secara manual dan digital, teknik membatik sampai pewarnaan kimia dan pewarna alami,” saran Adhi Iman.
Adhi Iman juga menyarankan, jangan lupa membuat kemitraan antara pihak sekolah dengan para perajin batik sebagai ahli atau praktisi untuk dijadikan instruktur batik di sekolah dengan honorarium yang ditetapkan oleh Dinas Pendidikan.
“Kemudian rumah produksi pembatik dijadikan tempat praktikum dan magang untuk membatik para siswa,” ujarnya.
Untuk melestarikan batik, Adhi Iman mendukung adanya event pameran dan fashion show batik di sekolah-sekolah dan hari besar daerah atau nasional.
“Termasuk pihak perguruan tinggi melaksanakan riset dan pemberdayaan generasi muda, dan ikut membantu promosi pemasaran produk batik sebagai bentuk partisipasi dalam mendukung pelestarian dan pengembangan batik,” ujarnya.
Melalui semua kegiatan itu, Adhi Iman berharap, batik bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata tetapi tanggungjawab semua warga masyarakat untuk ikut melestarikannya. (*)